Kapan Sebaiknya Mengabaikan Kata Hati
Orang bijak bilang, ikutilah kata hati dalam memutuskan sesuatu. Terlebih ketika Anda dilanda ragu. Di satu sisi, insting, intuisi, atau naluri memang mampu merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ini bisa membantu Anda memperoleh kebaikan.
Namun, di sisi lain, ada kalanya kata hati bisa salah dan Anda perlu mengabaikannya. Kapan tepatnya?
Kepada Bustle, Dr. Gary Brown, psikoterapis sekaligus ahli seks dan hubungan mengatakan bahwa Anda perlu mengabaikan kata hati, terutama ketika pikiran sehat dihalangi rasa takut yang muncul dari stres, cemas, trauma, dan pikiran berlebih--termasuk obsesi.
Pernyataan Dr Brown didukung studi 2017 yang diterbitkan dalam Clinical Psychological Science. Studi itu mengungkap bahwa rasa takut yang muncul dari kecemasan bisa mempersulit Anda mendengar kata hati.
Sebabnya, senyawa kimia otak yang dipicu rasa takut mampu menonkaktifkan sekaligus menyamar sebagai kata hati itu sendiri.
Lebih lanjut, Brown menganjurkan Anda mengabaikan kata hati ketika muncul ketakutan akan terulangnya suatu kejadian menyakitkan di masa lalu. Pun jika kata hati itu ternyata reaksi batin Anda yang pernah trauma terhadap suatu komitmen.
"Jika Anda adalah orang yang cenderung hidup dalam ketakutan, maka Anda mungkin rentan berlebih atau kesulitan menafsirkan motivasi dan tindakan pasangan Anda," kata Dr. Brown.
Jika hubungan Anda lebih mendalam secara emosional, sambung dia, kata hati mungkin bukan lagi tanda bahaya, melainkan kejutan saraf yang dihasilkan dari kerentanan sejati.
Menurutnya, orang yang rentan sering tidak akurat dan salah mengartikan kata hati. Itu sebabnya mereka perlu abai.
Ini termasuk orang-orang yang cenderung selalu optimis, ataupun orang yang mendapati kenyataan ternyata tidak sesuai dari apa yang ingin ia rasakan tentang pasangan.
Boleh jadi, kata Bethany Teachman, profesor psikologi di Universitas Virginia, itu adalah cerminan harapan manis Anda yang kandas. Bisa juga, karena Anda hanya merasa asing dengan suatu perilaku berbeda--meskipun itu baik--sehingga tidak nyaman.
Selain itu, abaikan kata hati jika Anda belum membaginya dengan pasangan. Menurut Brown, berbagi kekhawatiran yang berasal dari naluri “Bisa membantu menguji realitas.”
Karenanya, lebih penting dari semua, Brown menegaskan bahwa Anda sebaiknya abai pada kata hati jika perasaan dan pikiran belum selaras.
Dalam hubungan romantis, jelasnya, otak dan hati perlu berjalan seiring karena mereka saling terhubung.
“Kata hati, bagi setiap orang, kurang verbal, lebih sunyi dan lebih tekstural. Ini melampaui akal sehat, (yang muncul) seperti perasaan atau sensasi bergetar,” kata psikoterapis dan ahli hubungan Jonathan Marshall. Sementara otak kita, lanjutnya, jauh lebih cerewet dan berisik.
Brown bilang, sangat normal jika muncul keraguan dalam hubungan jangka panjang. Bahkan, sering cekcok pun bisa sehat jika tujuannya untuk menemukan jalan keluar demi menggapai kepuasan dan kebahagiaan hubungan.
"Setiap pasangan memiliki perbedaan. Apa yang membuat pasangan tidak bahagia adalah ketika mereka memutuskan hubungan emosional dan tidak bisa mendapatkan perasaan aman atau nyaman dengan seseorang," tutur psikolog klinis Sue Johnson, yang telah menyimpulkan dari berbagai studi bahwa hal paling menonjol dalam hubungan yang kuat adalah respons emosional.
Karena itu, para ahli menyayangkan banyaknya hubungan yang kandas dan banyak pasangan justru merusak hal-hal baik hanya karena mendengar kata hati yang saru akibat pikiran tidak sehat tadi.
Bila berada dalam situasi terkait dilema kata hati, WebMD menyarankan Anda berulang kali menanyakan pada diri sendiri apakah yang Anda lakukan cukup bijak. Ini bisa menjernihkan kata hati.
Namun, bila Anda tidak mampu membedakan antara apa yang Anda rasakan dan yang Anda pikirkan, ataupun tidak kuasa mengendalikan gejolak batin yang muncul, lebih baik “Tutup mulut dan jangan bertindak,” ujar Helen Fisher, antropolog biologis yang juga ahli percintaan.
Dalam studinya, Fisher menemukan tiga komponen neurokimia penting yang dimiliki orang-orang dengan tingkat kepuasan hubungan tinggi. Yakni kemampuan mempraktikkan empati, mengendalikan perasaan, dan mempertahankan pandangan positif tentang pasangan.
Diam, kata Fisher, bisa meningkatkan ketiga kemampuan itu sekaligus membantu menciptakan “Ilusi positif.” Ini tentang mengurangi jumlah waktu yang Anda habiskan untuk memikirkan aspek negatif dari hubungan.
Jadi, sebelum Anda melontarkan kata hati Anda yang seolah menuntun untuk yakin bahwa pasangan telah--atau akan--melakukan kesalahan sehingga Anda merasa begitu marah pun tidak nyaman, ada baiknya menyaring dulu seberapa benar kata hati itu.
Caranya, menurut Marshall, adalah dengan berjalan-jalan. Ini bisa mengalihkan perhatian dari apa yang Anda pikirkan dan memberi diri kesempatan untuk sampai pada semacam kesimpulan logis, yang jarang dicapai jika Anda mempergunakan pikiran untuk mengulang-ulang fakta.
Cara lainnya bisa dengan menemukan tempat yang tenang, bernapas dalam, menonton film atau curhat pada teman, juga cara apa saja untuk keluar dari jalur yang merusak.
"Tidak ada pasangan yang sempurna, dan otak dibangun dengan baik untuk mengingat hal-hal buruk yang dikatakan," pungkas Fisher.
Get notifications from this blog